Takut Tejadi Longsor Dan Banjir Bandang Warga Meminta Aparat Penegak Hukum Dan Dinas Terkait Menutup Tambang Ilegal Di Wates Selatan
Pringsewu, Lampung — Di tengah hiruk pikuk regulasi pertambangan yang konon ketat, Dusun Sari Bumi, Pekon Wates Selatan, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, tiba-tiba menjelma menjadi laboratorium ideal bagi praktik "demokrasi" pengelolaan sumber daya alam yang paling orisinal: tambang galian C ilegal tanpa izin. Sebuah pemandangan yang tak hanya menyajikan kerusakan lingkungan, tetapi juga ironi hukum yang renyah dan menggelikan.
Klimaks Arogansi di Depan Rumah Warga
Inilah yang menjadi inti utama cerita ini: kegiatan "pengupasan kulit bumi" ini terjadi persis di samping rumah warga, sebuah penempatan strategis yang seolah menantang batas-batas toleransi dan nalar. Warga setempat, yang enggan disebutkan namanya — mungkin karena khawatir "otonomi pribadi" mereka akan terganggu oleh mesin-mesin bego — menyampaikan keluhan yang menyayat hati nurani, atau setidaknya menyayat dompet pengelola.
"Kegiatan tersebut sangat mengganggu kami. Kami minta kepada APH dan dinas terkait untuk turun ke lokasi, segera menutup lokasi tersebut," ujar seorang warga yang memilih anonimitasnya sebagai tameng (melalui perwakilan tim yang mengonfirmasi).
Gangguan yang dimaksud? Mungkin hanya sekadar bising, debu, getaran, dan potensi longsor di halaman rumah. Detail sepele, jika dibandingkan dengan nilai material yang tersembunyi di dalam "tanah pribadi" itu yang konon sedang diselamatkan dari ketiadaan fungsi ekonomis.
"Tanah Kami, Hukum Kami Sendiri"
Keberimbangan (atau dalam konteks ini, keheranan) jurnalistik mengharuskan kami mendengarkan pihak yang dituduh. Dan pernyataan dari Pengelola di lokasi, yang diidentifikasi bernama Herman, adalah sebuah mahakarya pernyataan publik yang patut diabadikan dalam museum kontroversi.
Saat dikonfirmasi oleh tim investigasi, Herman dengan santai menyampaikan sebuah doktrin hukum tandingan yang tak kalah revolusioner: "Kami tidak perlu izin. Kami menggali tanah kami sendiri."
Pernyataan ini, jika dilihat dari kacamata sarkasme yang paling kritis, adalah bentuk kepolosan yang mematikan dan secara efektif membatalkan eksistensi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Herman seolah mengajarkan pada kita semua bahwa segala tetek bengek birokrasi perizinan hanyalah lelucon yang tak berlaku di atas sebidang tanah miliknya.
Tampaknya, di Dusun Sari Bumi, 'sertifikat hak milik' secara otomatis diartikan sebagai 'izin eksplorasi dan eksploitasi' tanpa batas, bahkan jika aktivitas tersebut mengancam keselamatan tetangga.
Otoritas yang Senyap: Menanti Respon Resmi di Tengah Kebisingan Alat Berat
Kasus ini kini menjadi bola panas yang menggelinding ke halaman Pemerintah Daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) setempat. Namun, hingga berita ini dirilis, respons dari pihak yang berwenang masih berupa keheningan yang memekakkan telinga.
Upaya konfirmasi kepada Dinas Lingkungan Hidup (terkait dampak ekologis), Dinas Perizinan (terkait legalitas), dan pihak APH (terkait penegakan hukum) belum membuahkan hasil. Mereka masih "menunggu keterangan resmi" — sebuah frasa birokrasi yang lazim digunakan untuk menunda penjelasan, seolah-olah kasus tambang ilegal yang beroperasi di depan mata membutuhkan analisis filosofis tingkat tinggi.
Publik dan warga yang terancam kini menanti: akankah otoritas segera bertindak menutup lokasi ini, atau mereka akan tetap sibuk menata kata-kata resmi sambil menikmati drama penghancuran lingkungan berskala mikro demi keuntungan segelintir orang.
(Hayat)












Post a Comment